Kamis, 23 Oktober 2008

STRATEGI BELAJAR BERBASIS ANEKA SUMBER (BEBAS)

TUGAS KELOMPOK
TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI DALAM PENDIDIKAN

TOPIK : STRATEGI BELAJAR BERBASIS ANEKA SUMBER (BEBAS)

A.Pendahuluan
Belajar tidak dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan fisik, melainkan non-fisik, yakni rasa ingin tahu dan prasyarat untuk mencapai kemampuan yang lebih tinggi sehingga pada akhirnya mampu pula memecahkan berbagai masalah. Kenyataan hidup sehari-hari dalam meningkatkan kualitas dan bertahan hidup diperlukan berbagai kompetensi sehingga mampu bersaing dengan lainnya. Hal demikian dapat dicapai kalau seseorang mampu belajar dengan baik dan benar. Dengan demikian belajar sudah selayaknya menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi seseorang yang ingin mempertahankan, meningkatkan kualitas diri dan kehidupannya serta ingin memenangkan persaingan di tengah arus global.
Belajar Berbasis Aneka Sumber (selanjutnya disingkat dan ditulis dengan huruf kecil “bebas”) memang telah dipakai sebagai pendekatan di lingkungan pendidikan1) konvensional sebagai upaya memperluas sumber belajar. Namun bebas di sini dimaksudkan sebagai proses belajar dari sumber apa saja, tentang apa saja, dan kemudian di sini, mengenai bebas ini juga diperluas dalam pengertian bebas yang sebenarnya, yakni tidak terikat. Jadi bebas dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja dan bagaimanapun caranya yang tidak terikat oleh format pendidikan formal yang telah diatur pemerintah.
Belajar di lingkungan formal dan non-formal telah dirasakan oleh masyarakat pada umumnya sebagai suatu yang semakin sulit dijangkau dan di sisi lain mereka semakin menyadari arti pentingnya. sebagian kecil masyarakat dengan relatif mudah mendapatkan (menikmati) proses pembelajaran yang bermutu tinggi di institusi unggulan sementara jauh lebih banyak mereka yang tidak mampu memperoleh pendidikan (baca: menyekolahkan) anggota keluarganya di institusi pendidikan yang lumayan baik saja. Keuntungan bebas lainnya disamping segi relatif murah biayanya adalah terkait dengan waktu dan keleluasan pebelajar untuk menguasai materil kemampuan tertentu, tanpa terikat oleh berbagai aturan baku yang terkadang bersifat kaku.
Tanpa disadari setiap hari anak-anak maupun orang dewasa telah menerapkan bebas ini. Namun demikian perlu disadari bahwa belajar merupakan suatu proses yang disengaja
Untuk tujuan tertentu dan mengarah pada perubahan yang relatif menetap. Pada tataran terjadinya proses bebas ini memang sebaiknya pemerintah atau lembaga resmi lainnya tidak ikut campur tangan, namun persoalan pengendalian mutu dan standar hasil belajarnya diperlukan campur tangan pihak-pihak yang lebih berkompeten termasuk dan terutama sertifikasi atau pemberian semacam surat tanda tamat belajar/menguasai kemampuan tertentu. Dalam hal ini mungkin akan dapat muncul semacam sertifikasi bebas; SD, SLTP, SMU, SMK, D II, D III dan lain-lainnya sebagai tanda bahwa peserta bebas telah memiliki dan bisa dibuktikan mereka mampu dalam hal tertentu yang disyaratkan untuk melaksanakan tugas tertentu. Misal bebas D III Perhotelan, bila peserta bebas entah bagaimanapun caranya telah memiliki kemampuan tertentu sebagai petugas khusus di Hotel.
Siapapun dapat melakukan dan atau ikut serta di dalam pendekatan bebas ini sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tentu saja akan disyaratkan umur tertentu apabila dalam pelaksanaannya diharuskan belajar mandiri dan memerlukan persyaratan minimal tertentu. Mengingat masih minimnya kemampuan masyarakat secara umum mengidentifkasi sumber-sumber belajar dari kemampuan tertentu sebagai tujuan belajar yang harus dikuasainya, maka diperlukan paling tidak adanya inisiator maupun lembaga tertentu yang memungkinkan terlaksananya bebas ini sesuai dengan karakteristiknya tanpa mengarah kepada format pendidikan yang telah ada.
lnisiator di sini diharapkan dari orang/lembaga yang sangat peduli kepada pemerataan pendidikan dari kesejahteraan ataupun mungkin adanya campur tangan pemerintah sebagai legitimator terhadap hasil belajar mereka (peserta bebas). Kepedulian dapat diwujudkan antara lain dengan kesediaan membantu proses bebas dalam bentuk bekerjasama dengan para “inisiator”, “organisator”; “koordinator” atau apapun namanya serta masing-masing individu pembelajar sehingga memungkinkan adanya arah yang dituju secara jelas. Hal demikian tentunya akan dimungkinkan lebih cepat terwujud apabila pemerintah mengeluarkan aturan khusus tentang bebas ini sebagai proses pendidikan/pembelajaran alternatif dan inovatif. Dan akhirnya pantaslah untuk direnungkan ungkapan berikut “ Bebas untuk Belajar dan Belajar untuk Bebas “.

B. Bebas di Lembaga Pendidikan Konvensional
Konsep pemakaian sumber belajar di sekolah/institusi pendidikan konvensional memang telah menggunakan pendekatan bebas ini. Namun kenyataannya penggunaan sumber belajar masih didominasi oleh yang sifatnya merancang, belum memanfaatkan yang ada disekelilingnya secara optimal. Keberadaan SLTP dan SMU Terbuka yang dirintis oleh Pustekkom nampaknya cukup mendekati apa yang penulis maksudkan, yakni berusaha menggunakan sumber belajar yang relatif lebih luas yang berada di lingkungan sekitar para siswa.
C. Bebas Non-Format Pendidikan Konvensional
Belajar di lingkungan formal telah banyak mendapat kritik yang tajam berbagai kalangam berkaitan dengan hasil belajarnya maupun pola-pola administratif dan manajerial yang terkadang dirasa kaku dan menghambat kreativitas. Uraian berikut mencoba memaparkan pola lain proses belajar dan pembelajaran yang lebih banyak mendasarkan diri pada pembelajar. Hal demikian akan sejalan dengan apa yang dipandang oleh Teori Belajar Berdasarkan Psikologi Sasial:Dalam pandangan faham belajar sosial, orang tidak didorong oleh tenaga dari dalam, demikian pun tidak digencet stimulus-stimulus yang berasal dari lingkungan. Alih-alih fungsi psikologi orang itu dijelaskan sebagai fungsi interaksi timbal balik yang terus menerus terjadi antara faktor-faktor penentu pribadi dan lingkungannya. (Bandura, 1977b, hal. -11).2). Teori belajar sosial Albert Bandura tersebut berusaha menjelaskan asas belajar yang berlaku dalam latar/lingkungan yang wajar. Tidak seperti halnya latar laboratorium, lingkungan sekitar memberikan kesempatan yang luas kepada individu untuk memperoleh keterampilan yang kompleks dan kemampuan melalui pengamatan terhadap tingkah-laku model dan konsekuensi-konsekuensinya. Menyimak sekilas teori belajar sosial tersebut, selanjutnya dalam tulisan ini penggunaan sumber belajar di dalam aktivitas belajar oleh pembelajar menurut hemat penulis dapat di golongkan ke dalam 3 tingkatan kebebasannya:
1. Bebas mutlak
Urusan belajar dan hal lain yang terkait, merupakan hak asasi manusia sehingga setiap individu atau kelompok orang bebas menentukan apa saja yang terkait dengan belajar termasuk sumber belajarnya. Hal ini dapat dilihat dengan lebih jelas pada orang dewasa lengkap dengan sifat-sifat kedewasaan yang lekat padanya. Mereka memandang dan menyadari benar bahwa belajar adalah kebutuhan individual dan sehagai kecenderungan/kodrat manusia/binatang untuk memahami sesuatu dan bertahan hidup. Dalam hal demikian siapapun kita tak dapat berbuat banyak atas orang lain dalam hat belajarnya, tetapi semua hal yang berkait dengan belajar terpulang pada individu, terutama yang tergolong telah dewasa.
2. Bebas terkendali longgar
Proses belajar dan penggunaan sumber belajar terkendali dalam arti positif oleh para inisiator, organisator, lembaga swadaya masyarakat (LSM) secara longgar demi efektivitas proses belajar. Peran pengendali di sini hanyalah mungkin sebagai perumus tujuan belajar, penyedia pokok-pokok materi dan pengidentifikasi sumber-sumber belajar yang dapat digunakan oleh si belajar dan kamudian hanya menginformasikan (termasuk di mana ada pusat sumber belajar yang bisa dimanfaatkan) hal tersebut kepada pembelajar yang selanjutnya terserah sepenuhnya kepada si belajar. Dengan demikian akan tampak perbedaan model ini dengan format pendidikan formal dan non-formal selama ini. Hal demikian disadari karena pada dasarnya basis belajar ini pada aneka sumber yang harus dicari, dialami, dicoba, dikoreksi sendiri dan dimanfaatkan sendiri oleh si pembelajar. Namun demikian juga masih dimungkinkan para inisiator tersebut menyediakan sumber belajar tertentu untuk tujuan belajar tertentu. Format seperti inilah yang penulis maksudkan di dalam tulisan ini, sehingga memang di sana-sini terdapat berbagai peluang dan tantangan bagi berbagai pihak mulai dari individu yang ingin belajar menguasai sesuatu sampai lembaga-lembaga yang secara resmi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan/proses pembelajaran.
3. Bebas terkendali ketat
Hal demikian telah dilakukan oleh berbagai institusi pendidikan konvensional yang telah memiliki aturan yang terkadang bersifat kaku dan berskala nasional. Namun demikian nampaknya sekarang ini sedang berlangsung suatu proses penyusunan peraturan pemerintah tergantung pendidikan yang di dalamnya terdapat reorientasi keberadaan pendidikan nasional selama ini, baik terkait dengan persoalan kurikulum, profesionalisme kependidikan dan lain-lain termasuk di dalamnya penggunaan sumber-sumber belajar. Proses belajar itu dapat dilakukan setiap individu sesuai dengan kemampuan masing-masing. Belajar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari paling tidak dapat dipilah-pilah menjadi:
• Belajar dengan. Menunjukkan bahwa proses belajar itu disertai, didampingi, dengan perantaraan, menggunakan sesuatu yang mendukung terjadinya proses belajar itu sendiri sehingga tercapailah tujuan belajar. Dikaitkan dengan bebas, maka hal ini dapat ditafisirkan pula penggunaaan aneka sumber belajar baik insani maupun non-insani yang telah dirancang maupun yang tinggal memanfaatkan. Namun peran sumber belajar di sini merupakan pendamping, penyemangat ataupun penguat sehingga pebelajar mampu melalukan tugas belajarnya. Misalnya untuk belajar mengendarai sepeda motor seorang anak didampingi oleh kakaknya/orangtuanya, untuk belajar desain grafis pebelajar menggunakan perantaraan komputer.
• Belajar dari. Menunjukkan bahwa di dalam proses belajar terdapat sesuatu yang digali sehingga pebelajar menguasai dan mencapai tujuan belajar. Nuansa ini juga dapat disebut belajar karena yang maksudnya lebih dekat kepada susuatu yang menjadi inspirasi terjadinya belajar. Kaitannya dengan bebas adalah bahwa segala sesuatu dapat menjadi inspirasi terjadinya belajar, sehingga hal tersebut dapat disebut pula sumber belajar. Misalnya; peristiwa hujan dapat kita jadikan sumber belajar. Jadi kita dapat belajar dari hujan, kebakaran, kekeringan, kerusuhan, dll.
• Belajar kepada. Hal ini lebih menunjukkan adanya obyek yang dijadikan narasumber belajar. Narasumber lebih berperan sebagai pengajar yang memiliki kemampuan lebih dan dengan demikian ia dapat memberikan bahan ajar (sesuatu yang dapat dipelajari) melalui dirinya kepada si belajar. Misalnya; belajar kepada Ustadz, Kyai, Guru, Seorang Ahli, dll.
• Belajar tentang. Hal ini menunjukkan adanya spesifikasi materi yang akan dikuasai sehingga proses belajar menjadi terfokus kepada satu atau beberapa hal yang sejenis. Misalnya; belajar tentang matematika, pemograman barbasis komputer, bagaimana cara belajar yang baik, desain interior, sepak bola, dll.
• Belajar untuk. Hal ini menunjukkan adanya tujuan akhir belajar, tujuan di sini lebih merupakan tujuan utama yang harus dilewati melalui pencapaian tujuan-tujuan lain yang menjadi tahapan ke arah tujuan utama. Kata untuk di sini juga bisa dipadankan dengan demi, guna. Misalnya; belajar untuk menjadi seorang sopir yang baik maka seseorang harus pula belajar tentang mobil, jalan raya, aturan lalu lintas dan juga ia harus pula belajar dari/kepada sopir lainnya.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah dikaitkan bahwa berbasis dalam bahasan bebas ini dapat meliputi berbagai hal di atas kecuali belajar tentang dan belajar untuk. Karena kata berbasis penulis artikan sebagai “berdasar”, “mendasarkan diri”, “berpijak” kepada segala macam sumber-sumber belajar.
Menurut Association for Educational Communication and Technology (AECT ) sumber belajar sebagaimana dikutip oleh Karti Soeharto, dkk dalam bukunya Teknologi Pembelajaran (1995):
Learning resources (for Educational Technology) all of the resources (data, people, and things) which may be used by the learner in isolation or in combination, usuaily in a formal manner, to facilitate learning; they include messages, people, materials, devices, techniques, and setting. (AFCT, 1977, p.F) 3)
Yang dimaksud dengan sumber (pen: sumber belajar) ialah asal (pen: sesuatu) yang mendukung terjadinya belajar, termasuk sistem pelayanan, bahan pembelajaran dari lingkungan.4)
D. Peluang
Peluang dalam hal ini dimaksudkan sebagai adanya kesempatan baik, yang penulis pandang sebagai sesuatu yang cukup inovatif dan alternatif yang bisa di dapat/terwujud apabila diusahakan ke arah itu dan berhasil melewati tantangan-tantangan tertentu.
Peluang melaksanakan bebas dan memperoleh manfaat dari bebas ini secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam; Individu, Keluarga, Masyarakat, Pemerintah, Tempat Kerja, Tempat Ibadah, Media, Sekolah, dan Perguruan Tinggi
Namun demikian, konsisten dengan apa yang penulis maksudkan pada uraian terdahulu yang diharapkan dapat berperan penting dalam pelaksanaan bebas ini adalah individu, keluarga, dan masyarakat lengkap dengan segala potensinya. Beranjak dari kesempatan yang dimungkinkan oleh keleluasaan penyelenggaraan bebas ini, maka berikut ini terdapat keuntungan yang bisa didapat:
1. Masing-masing individu akan leluasa menentukan tujuan dari topik belajar sendiri, baik menyangkut -pengetahuan, keterampilan dan atau sikap tertentu yang ingin dikuasainya. Kebebasan inipun dapat difaktakan dalam hal waktu penyelesaian belajarnya.
2. Memotivasi masyarakat untuk ikut serta menggerakkan pebelajar ataupun menjadi inisiator pelaksanaannya.
3. Pendanaan relatif lebih rendah daripada yang ada pada lembaga formal karena telah banyak variabel-variabel pembiayaan yang bisa dihemat/dipangkas, antara lain tak perlu gedung sekolah, tak perlu pegawai administrasi yang banyak, tak perlu rnembuat aturan. yang macam-macam, tak perlu gedung pertemuan, dll.
4. Beban pemerintah dalam penyelenggaraair pendidikan menjadi lebih ringan dengan adanya partisipasi aktif masing-masing individu pelajar, masyarakat, para inisiator, organisator, dll.
E. Tantangan
Konsep bebas dalam tulisan ini dalam prakteknya lebih dimungkinkan berhasil apabila terarah pada tingkat SLTP ke atas, karena perlu adanya persyaratan minimal tertentu sehingga belajar mandiri dapat dilaksakan. Sedangkan dalam tingkat SD pendekatan bebas juga akan sangat baik dilakukan untuk merangsang kamandirian dan kreativitas siswa.
Mengingat dengan bebas ini dimungkinkan banyak keuntungan/kelebihan yang dapat diperoleh, tentunya akan sulit terwujud apabila tidak ada peran serta berbagai pihak dalam mewujudkan pelaksanaannya secara rill di masyarakat. Berikut ini akan dicoba paparkan pihak-pihak yang dapat berperan menembus tantangan dimaksud yang tentu saja akan berbeda dengan apa yang oleh sekolah konvensioal pernah lakukan.
Pemerintah. Pemerintah dapat berperan dengan mengeluarkan aturan khusus mengenai mekanisme pelaksanaan bebas termasuk di dalamnya; kurikulum khusus untuk bebas, acuan patokan penguasaan kemampuan, standar minimal, serta sertifikasi atau pemberian semacam surat tanda tamat belajar sehingga hal ini menarik perhatian banyak kalangan untuk ikut serta di dalamnya. Baik individu maupun masyarakat akan tergerak karena terdapat legitimasi/pengakuan bahwa tidak hanya mereka yang menamatkan sekolah di lembaga formal saja yang berhak mendapatkan pekerjaan ataupun menduduki jabatan yang layak. Contoh bila ada seseorang yang memiliki kemampuan tertentu sebanding dengan tamatan SMK (Mis: dulu STM jurusan Otomotif) namun tidak pernah bersekolah di SMK, tentunya mereka akan senang kalau kemampuannya dihargai dengan tamatan SMK.
Selanjutnya dengan adanya ketentuan khusus yang telah dikeluarkan pemerintah, tentunya harus diikuti pula kesadaran berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang biasanya mensyaratkan ijasah tertentu untuk bekerja di instansinya dengan merubah paradigma rekruitmen menjadi persyaratan kemampuan minimal tertentu dan bukan ijasah tertentu. Misalnya; seseorang yang bekerja di hotel sebagai ‘house keeping’ yang agak jarang berhubungan dengan orang adalah tamatan D III perhotelan. Mungkin nanti pekerjaan house keeping dapat pula dilakukan oleh seseorang yang hanya memiliki ijasah SD atau SLTP namun ia mampu melakukan hal sebagaimana D III perhotelah tersebut. Kenapa tidak? Yang digaji itu pekerjaannya atau ijasahnya dan apakah ijasah sudah pasti menjamin keterampilan riil yang diperlukan?
Persyaratan peserta dibuat seringan dan semudah mungkin dipenuhi; misalnya telah miliki ijasah SD atau bisa membaca dan menulis saja. Umur pesertapun tidak dibatasi, mengingat hak belajar dan berkemampuan adalah hak setiap orang.
Individu. Setelah tahu kurikulum dan tujuan belajar, peserta bebas selanjutnya akan mandiri mencari sumber belajarnya dan berusaha dengan berbagai cara menguasainya. Dituntut disiplin, kemandirian dan kemampuan untuk maju yang tinggi dari para peserta bebas beserta kelompok-kelompok belajarnya. Memang dimungkinkan peserta bebas bisa semaunya sendiri dan tak terkontrol dalam hal belajarnya. Hal demikian menurut hemat penulis justru merupakan tantangan kemadirian yang harus ditanamkan sehingga dalam sikapnya mereka memiliki kedewasaan dan kesadaran penuh.
Dorongan masyarakat orangtua juga tetap dimungkinkan. Kepentingan belajar sudah seharusnya melekat pada pebelajar tanpa adanya campur tangan pihak lain terutama pemerintah sehingga diharapkan akan mendewasakan mereka. Dengan banyaknya contoh temannya yang berhasil, maka akan lebih memacu, merangsang dan mendorong, memotivasi mereka untuk mengikuti jejak teman-temannya.
Inisiator. Inisiator dapat dilakukan pada prinsipnya siapa saja yang peduli akan pemerataan pembelajaran baik berupa individu, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, institusi pendidikan, tempat-tempat kerja, tempat-tempat ibadah, pemerintah, dll.
Para tokoh masyarakat, Ormas, LSM dan lain-lain dapat berperan memantau/menyemangati para peserta agar dengan sungguh-sungguh “berproses” kepada tujuan belajarnya. Masyarakat maupun lembaga-lembaga yang memiliki kompetensi terkait diharapkan membantu mengidentifikasi, bahkan bila mungkin, menyediakan sumber-sumber belajar yang diperlukan. Institusi pendidikan dan lembaga lain yang berkompeten hendaknya menyediakan sumber belajar terbuka (open learning resources) yang akan bisa dimanfaatkan oleh peserta bebas.
Mengingat sebagian besar masyarakat telah terlalu banyak yang terbiasa dengan bersekolah secara konvensional, kemampuan untuk belajar mandiri akan tergantung dengan pola bebas ini. Dengan demikian perlu adanya bahan belajar mandiri (BBM) karena kurang ada kemampuan otodidak dan tidak yakin akan berhasil, selalu ingin dibimbing, diarahkan, diberitahu dan lain-lain. Hal ini juga merupakan tantangan para inisiator maupun pemerintah untuk membantu lebih banyak tersedia bbm.
F. Pengendalian Mutu Bebas
Pengendalian mutu dapat dengan lebih mudah dilakukan pada materi-materi tertentu yang lebih terkait dengan perfarmunce ability daripada kemampuan konseptual. Pengendalian ini dimaksudkan agar terdapat standar minimal yang disesuaikan dengan kondisi si pelajar dan lingkungannya. Dalam dunia pendidikan formal hal ini dikenal dengan standar acuan patokan yakni level kemampuan tertentu yang menjadi rujukan pengusaan kemampuan peserta belajar.
Pengendalian ini dapat diperankan oleh lembaga-lembaga pendidikan konvensional yang ditunjuk yang dalam prakteknya hanya memfasilitasi terlaksananya ujian/tes penguasaan materi peserta bebas. Peran ini juga dapat dimainkan oleh segenap komponen bangsa yang potensial, institusi swasta, maupun LSM yang memiliki kompeteltsi yang relevan sebagai bentuk partisipasi aktif masyarakat. Adapun sasaran pengendalian mutu adalah kompetensi para peserta bebas dalam prosesnya menuju tujuan akhir belajarnya.
G. Penutup
Inilah sebuah pemikiran dan apabila diperkuat dengan pemikiran-pemikiran lain tentu akan lebih baik dan berpengharapan. Dan bahkan bila muncul pemikiran yang berbeda tentu hal ini juga sebuah pemikiran yang bila digambarkan sebuah pemikiran dari masing-masing kita, yang peduli tentunya, akan menjadi kumpulan pemikiran yang luar biasa yang diharapkan menjadi salah satu solusi krisis multi dimensi masa kini. Penulis menyadari di sana sini terdapat kekurangan, baik kurang operasinal, terlalu teoritis, tidak jelas maksudnya dan lain-lain. Namun paling tidak, penulis harapkan paper ini menggugah dan merangsang pemikiran kita akan nasib anak bangsa yang kurang beruntung untuk dapat berkemampuan, berketerampilan, bersikap sebagaimana mereka yang lebih dulu menikmatinya pembelajaran yang baik.
Oleh :
Rury Muslifar
Nurhasni
Sunardi
Sidik Purnomo
Dewi Muchayanah


DAFTAR PUSTAKA
Miarso, Yusufhadi, Teknologi Komunikasi Pendidikan Pengertian dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta: Pustekkom dan Rajawali, 1984.

--------, Perbedaan Belajar, Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, Bahan Kuliah, 2002.

--------, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. 2004.

Nasution, S. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta: Bina Aksara, 1984.

Soeharto, Karti dkk. Teknologi Pembelajaran (Pendekatan Strategi, Konsepsi dan Model, SAP, Evaluasi, Sumber Belajar dan Media), Surabaya: SIC, 1995.

Sudjana, Nana dan Ahmad Rivai, Teknologi Pengajaran, Bandung : Sinar Baru, 1989.

Belajar Berbasis Aneka Sumber, http://fakultasluarkampus.net/belajar-berbasis-aneka-sumber/, Uwes Anis Chaeruman

Tidak ada komentar: